ILMU PEMERINTAHAN DITINJAU DARI
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI
A. PENDAHULUAN
Perkembangan dan
kemajuan peradaban manusia dewasa ini tidak terlepas dari peran ilmu. Bahkan
perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring
dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap itu kita menyebut
dalam konteks ini sebagai priodesasi sejarah perkembangan ilmu; sejak dari
zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer. Kemajuan
ilmu dan teknologi dari masa ke masa ibarat mata rantai yang tidak terputus
satu sama lain. Hal-hal baru yang ditemukan suatu masa menjadi unsur penting
bagi penemuan-penemuan lainnya di masa berikutnya. Satu hal yang tak sulit
untuk disepakati, bahwa hampir semua sisi kehidupan manusia modern telah
disentuh oleh berbagai efek perkembangan ilmu dan teknologi, sektor ekonomi,
politik, pertahanan dan keamanan, sosial dan budaya, komunikasi dan
transportasi, pendidikan, seni, kesehatan, dan lain-lain, semuanya
membututuhkan dan mendapat sentuhan teknologi.
Satu hal lain yang
menjadi karakter spesifik ilmu kontemporer, dan dalam konteks ini dapat kita
temukan secara relatif lebih mudah pada bidang-bidang sosial, yaitu bahwa ilmu
kontemporer tidak segan-segan melakukan dekontruksi dan peruntuhan terhadap
teori-teori ilmu yang pernah ada untuk kemudian menyodorkan pandangan-pandangan
baru dalam rekontruksi ilmu yang mereka bangun. Dalam hal inilah penyebutan
“potmodernisme” dalam bidang ilmu dan filsafat menjadi diskursus yang akan
cukup banyak ditemukan.
Semua kemajuan tersebut
adalah buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang tak pernah surut dari
pengkajian manusia. Pengetahuan berawal dari rasa ingin tahu kemudian
seterusnya berkembang menjadi tahu. Manusia mampu mengembangkan pengetehuan
disebabkan oleh dua hal utama; yakni, pertama manusia mempunyai bahasa yang
mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi
informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan
pengetahuannya dengan cepat adalah kemampuan berfikir menurut suatu alur
kerangka berfikir tertentu.
Pengetahuan (knowlodge
atau ilmu) adalah bagian yang esensial-aksiden manusia, karena pengetahuan
adalah buah dari “berfikir”. Berfikir (atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia
(atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu hewan. Dan
sebenarnya kehebatan manusia dan “barangkali” keunggulannya dari
spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini
tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin
diketahui oleh manusia? Bagaimana manusia berpengetahuan? Apa yang ia lakukan
dan dengan apa agar memiliki pengetahuan? Kemudian apakah yang diketahui itu
benar? Dan apa yang menjadi tolak ukur kebenaran? Bagaimana kebenaran itu
diaplikasikan?
Sederetan
pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan ini
sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita.
Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu, maka
akan ada aturan yang harus diperhatiakan dalam mengkajinya melalui
landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu, yaitu landasan ontologi, landasan
epistemologi, dan landasan aksiologi. Dengan demikian dapat memberikan
pemahaman tentang suatu kerangka pendekatan pencarian kebenaran, proses yang
ditempuh dalam pencarian kebenaran tersebut dan sejauhmana kebenaran itu dapat
dikatakan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, permasalahan
tersebut perlu diuraikan lebih lanjut melalui tema : “ILMU
PEMERINTAHAN DITINJAU DARI ONTOLOGI, EPISTEMOLOG, AKSIOLOGI”.
B. Tinjauan Ontologi ilmu pemerintah
Ontologi merupakan
cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Dari aliran
ini muncul empat macam aliran filsafat, yaitu : (1) aliran Materialisme; (2)
aliran Idealisme; (3) aliran Dualisme; (4) aliran Agnoticisme.
Ontologi merupakan salah
satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula
alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi.
Dalam persolan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita
menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan
pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran)
dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Pembicaraan tentang
hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin adalah
realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan yang sebenarnya.
Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara
atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
Pembahasan tentang
ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut
Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi
benda. Kata ontologis berasal dari perkataan Yunani; On = being, dan logos =
logic. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being ( teori tentang
keberadaan sebagai keberadaan). Sedangkan pengertian ontologis menurut istilah
, sebagaimana dikemukakan oleh S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam
Prespektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa
jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai
teori tentang “ada”. Sementara itu, A. Dardiri dalam bukunya Humaniora,
filsafat, dan logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari
apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari
kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal,
abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap
sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal
pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang
ada.
Term ontologi pertama
kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M. Untuk menamai teori
tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya
Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika
umum dan metafisika khusus. Metrafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain
dari ontologi.
Dengan demikian,
metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip
paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika
khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.
Kosmologi adalah cabang
filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalah
cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi
adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.
Di dalam pemahaman
ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut
:
1.
Monoisme
Paham ini menganggap
bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak
mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal
berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing
bebas dan berdiri sendiri. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan
Block Universe. Paham ini kemudian terebagi ke dalam dua aliran:
a. Materialisme.
Aliran ini menganggap
bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga
disebut dengan naturalisme. Mernurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan
satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh
tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa dan ruh merupakan
akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan dengan salah satu cara tertentu.
Alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang
merupakan hakikat adalah:
§
Pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat
diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
§
Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang
yang abstrak.
§
Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan.
Oleh sebab itu,
peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih menonjol
dalam peristiwa ini. Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada benda
seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya itu
memperkuat dugaan bahwa yang merupakan haklekat adalah benda.
b. Idealisme
Aliran idealisme
dinamakan juga spiritualisme. Idealisme bderarti serba cita sedang spiritualisme
berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir
dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam
itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang
tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis
dari pada penjelmaan ruhani.
Alasan aliran ini yang
menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
§
Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari
materi bagi kehidupoan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang
sebenarnya. Sehingga materi hanyalah badannya bayangan atau penjelmaan.
§
Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.
§
Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak
ada, yang ada energi itu saja.
Dalam perkembangannya,
aliran ini ditemui pada ajaran plato (428-348 SM) dengan teori idenya.
Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universal
dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa
bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang menjadi hakikat sesuatu,
menjadi dasar wujud sesuatu.
2. Dualisme
Dualisme adalah aliran
yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme
dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun ruh sama-sama merupakan
hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan
karena materi. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih memiliki
masalah dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut di atas.
Sebuah analogi dapat kita ambil misalnya tentang jika jiwa sedang sehat, maka
badan pun akan sehat kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa seseorang sedang penuh
dengan duka dan kesedihan biasanya badanpun ikut sedih, terlihat dari murungnya
wajah orang tersebut.
Aliran dualisme
berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya,
yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.
Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri
sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan
dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua
hakikat ini dalam diri manusia. Tokoh paham ini adalah Descrates (1596-1650 M)
yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu
dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).
3. Pluralisme
Paham ini berpandangan
bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari
keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.
Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy and Religion dikataka sebagai paham
yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari
satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah anaxagoras
dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan
terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini
adalah William James (1842-1910 M). Kelahiran New York dan terkenal sebagai
seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth James
mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat
tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.
4. Nihilisme
Nihilisme berasal dari
bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sdebuah doktrin yang tidak
mengakui validitas alternatif positif. Tokoh aliran ini diantaranya adalah
Fredrich Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di Pursia, dari keluarga
pendeta. Dalam pandangannya bahwa “Allah sudah mati”, Allah Kristiani dengan
segala perintah dan larangannya sudah tidak merupakan rintangan lagi. Dunia
terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Dan pada kenyataannya moral di
Eropa sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai kristiani. Tetapi tidak
dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap. Dengan demikian ia sendiri
harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai baru, dengan
transvaluasi semua nilai.
5. Agnotisme
adalah paham yang
mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu dibalik
kenyataannya. Manusia tidak mungkinmengetahui hakikat batu, air, api dan
sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manuisa sangat terbatas dan
tidak mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu yang ada, baik oleh inderanya
maupun oleh pikirannya.
Paham ini mengingkari
kesanggupan manusia untuk mengakui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun
hakikat ruhani. Timbul aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan
mampu menerangkan secara konkrit akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan
dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu
kenyataan mutlak yang bersifat trancedent. Aliran ini dapat kita temui dalam
filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Sren Kierkegaar, Heidegger,
Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855) yang terkenal dengan julukan
sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak pernah hidup
sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan
tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.
Jadi agnostisisme adalah
paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui
hakikat benda materi maupun rohani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang
berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat bahkan
menyerah sama sekali.
C. Tinjauan Epistemologi Ilmu Pemerintahan
Epistemologi juga
disebut teori pengetahuan (theori of knowledge). Secara etomologi, istilah
etomologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = teori.
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal
mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam
metafisika, pertanyaan pokoknya adalah “apakah ada itu?”, sedangkan dalam
epistemologi pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui?”
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:
(1) Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?
(2) Dari mana pengtahuan itu dapat diperoleh?
(3) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai?
(4) Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra
pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman).
Epistemologi meliputi
sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai
pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik akan dengan
sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita
pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara
akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dengan
epistemologik, sehingga dikenal dengan adanya model-model epiostemologik
seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasinalisme kritis,
positivisme, fenomonologis dengan berbagai variasinya. Pengetahuan yang
diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode
tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:
1. Metode Induktif
Induksi yaitu suatu
metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil observasi disimpulkan dalam
suatu pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak dari pernyataan-pernyataan
tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal. Dalam induksi, setelah
diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu
mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori
ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang.
Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu
pengetahuan yang disebut sintetik.
2. Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu
metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam
suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode
deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu
sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori
tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan
teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris
kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3. Metode Positifme
Metode ini dikeluarkan
oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah
diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala
uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, iamenolak
metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan
segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
4. Metode Kontempilatif
Metode ini mengatakan
adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan,
sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan sutu
kemampuanakal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat
intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan
oleh Al-Ghazali.
5. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab
untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun
Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang
mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik
tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
D. Tinjauan Aksiologi Ilmu Pemerintahan
Pengertian aksiologi
berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti
teori. Jadi aksiologi adalah “Teori tentang nilai”. Nilai yang dimaksud adalah
sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa
yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan
etika dan estetika.
Makna “etika” dipakai
dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan
mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan
suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau
manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan
manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruk. Sedangkan estetika
berkaitan denganj nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia
terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah
subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari
filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam
segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya,
maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan
penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis. Dengan
demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang
dimilki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai
subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang.
Nilai itu objektif, jika
ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif
muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme.
Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada
objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.
Nilai dalam ilmu
pengetahuan. Seorang ilmuwan harus bebas dalam menentukan topik penelitiannya,
bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan
dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja, dia hanya
tertuju pada kerja proses ilmiah dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan
baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat
dengan nilai-nilai subjektif, seperti; agama, adat istiadat.
Tetapi perlu disadari
setiap penemuan ilmu pengetahuan bisa berdampak positif dan negatif. Dalam hal
ini ilmuwan terbagi dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat
mengenai kenetralan ilmu. Ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah
kepada orang lain untuk menggunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa
netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan,
sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral, sebagai
ukuran kepatutannya.
E. PENUTUP
Pengkajian terhadap
suatu bidang pengetahuan harus dibangun dari fondasi filsafat yang kuat, jelas,
terarah, sistematis, berdasarkan norma-norma keilmuan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Filsafat ilmu merupakan kajian yang dilakukan secara
mendalam mengenai dasar-dasar ilmu. Pendekatan yang digunakan dalam menguak
landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu adalah melalui tiga hal. Pertama,
pendekatan ontologi, yaitu ilmu yang mengkaji tentang hakikat. Teori hakikat
pertama kali dikemukakan oleh filsuf Thales yang mengatakan bahwa hakikat
segala sesuatu itu adalah air. Kemudian dalam perkembangannya, bermuncullah paham-paham
tentang ontologi meliputi monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan
agnotisisme. Kedua, pendekatan epistemologi, yaitu cabang filsafat yang
mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas)
pengetahuan. Dalam menemukan sumber pengetahuan itu terdapat beberapa metode
yaitu induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan dialektis. Ketiga,
pendekatan aksiologi, yaitu teori tentang nilai (etika dan estetika). Pada
adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat
dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan
kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat manusia itu
sendiri, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara
komunal dan universal.
F. DAFTAR PUSTAKA
§
Al-Qur'an dan Terjemahnya. (1989). Departemen Agama Republik
Indonesia
§
H. Sofyan Sauri, Dr. M.Pd. Pendidikan Berbahasa Santun. (2006)
Bandung : PT Genesindo
§
Juhaya S. Praja, Prof. Dr. Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika.
(2005). Jakarta : Prenada Media.
§
Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
§
S. Suriasumatri, J. (2003). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar
Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
§
Kebung, K. (2008). Filsafat dan Perwujudan Diri; Belajar Filsafat
dan Berfilsafat. [Online]. Tersedia: http://eputobi.net/eputobi/konrad/temp/
filsafatdanberfilsafat.htm [4 September 2008]
§
Liang Gie, T. (1996). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Liberty.
§
M. Syarif, M. (1996). Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.
§
R. Semiawan, C. Dkk. (1991). Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
§
Sonny Keraf, A & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan, Sebuah
Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.
§
Amsal Bakhtiar, (2006). Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar